-->
Ehem, ehem...mmm … Siapa laki-laki pilihan para wanita muslimah untuk menjadi pendamping hidup? Seorang pejabat, hartawan, atau si wajah tampan? Bisa jadi itu semua bukan pilihan utama dan lebih menjatuhkan pilihannya pada laki-laki dengan syarat ketinggian taraf keimanan, ibadah serta aktifitas sosial dan dakwah yang lebih darinya. Ataukah cukup yang biasa-biasa saja dan setara bahkan lebih rendah dari dirinya dengan catatan selama ia masih beragama Islam. Pilihan-pilihan itu sering mengemuka seiring dengan rencana dan keinginan seorang wanita untuk menempuh jalinan rumah tangga. Sebab, konon saat ini semakin sulit mencari laki-laki ideal dan “jempolan”. Tentu bukan karena timpangnya perbandingan jumlah laki-laki dan wanita. Namun lebih dimungkinkan karena semarak aktifitas keislaman lebih berkembang di kalangan wanita muslimah dibandingkan laki-laki, meski hal itu masih perlu dilakukan verifikasi dengan data statistik yang benar.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah wajarkah seseorang wanita mensyaratkan kadar keimanan (agama) yang lebih tinggi atas calon suaminya? Nikah adalah ikatan paling kuat dan kekal antara dua jenis insan . Ia pun banyak membawa hal-hal yang lebih positif bagi seseorang daripada hidup membujang. Jiwa perlu diikat dengan pengikat yang kuat lagi kokoh. Pengikat ini adalah aqidah. Karena hanya aqidah yang dapat mengarahkan hidup seseorang, menyetir hati, pikiran dan perasaannya, serta menanamkan pengaruh yang paling berkesan, kemudian menentukan jalan kehidupan mereka.
Dalam kaitan inilah, para ulama bersepakat atas haramnya seorang wanita muslim mengawini laki-laki kafir, baik kafir musyrik ataupun kafir kitabi. Hal itu juga ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya, “… dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik dengan wanita beriman sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari seorang musyrik walaupun ia menarik hatimu …” (QS/ Al-Baqarah:221). Secara teoritis, tabiat wanita akan cenderung mengikuti suaminya. Sementara dalam sistem Islam, kepala keluarga adalah suami. Hal ini mencerminkan bahwa kondisi calon suami yang lebih mapan dan tinggi keimanannya menjadi satu syarat yang tidak bisa diabaikan.
Sementara itu, ada kecenderungan laki-laki muslim untuk (sengaja atau tidak) menunda pernikahan dengan beragam alasan. Studi, karir, masalah ekonomi, ingin lebih mendahulukan kepentingan keluarga dan berbagai alasan lainnya. Kondisi tersebut sesungguhnya justru sangat kontradiktif dengan keadaan yang dialami para muslimah. Bagi para wanita muslimah yang memahami konsep Islam secara baik, yang menjadi ukuran utama adalah kadar ketaqwaan dan tingkat keimanan dari calon suami. Sementara harta, jabatan, penampilan fisik dan latar belakang menjadi tidak lebih diutamakan meski tidak pula menampik hasrat untuk mendapatkan yang ‘lebih’ dari semua persyaratan itu. Artinya, keinginan untuk mendapatkan suami dengan penampilan menarik, harta yang cukup ditopang jabatan yang menjanjikan menjadi tidak lebih penting bagi seorang wanita muslimah jika syarat utamanya, yakni kadar keimanan dan akhlaq yang baik tidak dimiliki oleh calon pendampingnya.
Banyak wanita muslimah saat ini yang berpendapat bahwa tidak ada salahnya untuk memperoleh pendamping hidup yang sholeh, tampan, cukup harta dan berpendidikan. Pendapat itu tidak salah, namun juga tidak menjadi benar jika itu menjadi alasan untuk menolak setiap laki-laki sholeh yang datang karena tidak memenuhi syarat lainnya.
Hal itu ditegaskan Rasulullah SAW dalam haditsnya, Dari Abi Hatim al Muzani, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Apabila datang (meminang) kepadamu orang yang kamu ridhai agamanya dan akhlaqnya, maka nikahkanlah (anakmu dengan) dia. Jika tidak kamu lakukan maka akan timbullah fitnah di bumi dan kerusakan yang besar,” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, jika hal itu memang ada?” Beliau menjawab, “Apabila datang (meminang) kepadamu, orang yang engkau ridha (karena) agama dan akhlaqnya, maka nikahkanlah anakmu dengan dia.” (diucapkan tiga kali) (HR. Tirmidzi)
Imam Asy Syaukani mengatakan, “orang yang kamu ridhai karena agama dan akhlaqnya” dalam hadits diatas, menunjukkan bahwa kufu itu menyangkut segi agama dan akhlaq. Sedangkan Imam Malik menegaskan bahwa kufu itu hanya menyangkut agama saja. Demikian juga apa yang dikutip dari Umar dan Ibnu Mas’ud dan kalangan tabi’in seperti Muhammad Ibn Sirin dan Umar bin Abdul Aziz dengan dasar firman: “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling taqwa kepada-Nya.”
Dari sudut pernikahan, kufu dalam arti agama memang menjadi suatu ketentuan yang mutlak. Namun, kufu dari sisi akhlaq merupakan pertimbangan yang lebih jauh. Ini menyangkut masa depan keutamaan sebuah keluarga muslim di tengah keluarga muslim lainnya. Oleh karena itulah Rasulullah SAW menyatakan bahwa apabila yang datang itu adalah seorang yang baik agama dan akhlaqnya, maka (jika anak perempuannya juga tidak keberatan) pinangannya harus diterima.
Agama dan akhlaq adalah ukuran yang ideal bagi suami yang baik. Dari sisi inilah wajar bila seorang wanita muslimah ingin mendapatkan nilai lebih dari diri calon suaminya, minimal dibandingkan dirinya sendiri. Tetapi cukuplah bersyukur atas nikmat dan anugrah yang diberikan Allah SWT jika memang Allah menentukan pilihan bagi seorang muslimah yang …ehm, Sholeh, tampan, berpendidikan dan cukup harta. Hendaknya ia tidak menjadi takabbur menganggap dirinya lebih mulia dari wanita muslimah lainnya, karena sesungguhnya atas segala nikmat yang Allah berikan, Allah titipkan pula ujian didalamnya untuk menguji apakah hamba-Nya bersyukur atau sebaliknya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Nasehatnya, Jazakumullahu khair